Irma S
mengalami kelumpuhan saat usia 4 tahun akibat polio. Kehidupannya
menuju usia dewasa adalah kisah panjang yang penuh perjuangan. Irma yang
bersuamikan Agus Priyanto, yang juga penyandang cacat kaki, telah
membuktikan bahwa seburam-buram harapan, selalu ada celah yang bisa
membawa berkah dan peluang di masa depan.
Pasangan itu berhasil membangun usaha kerajinan keset dengan modal
kain-kain sisa. Usaha mereka kini sudah sampai ekspor ke beberapa
negara, dan mereka kini memiliki 2.500 pengrajin dan 150 diantaranya
adalah penyandang cacat.
Irma telah menerima banyak penghargaan, antara lain Wirausahawati
Muda Teladan dari Kementerian Pemuda dan Olahraga (2007), Perempuan
Berprestasi 2008 dari Bupati Kebumen (2008), dan Penghargaan dari Jaiki
Jepang, khusus untuk orang cacat.
Pada Awalnya…
Sejak bayi, Irma Suryati sudah menderita layu kaki. Penyebabnya
adalah virus Polio. Meski masih bisa berjalan normal sampai sekolah
menengah atas (SMA), kaki Irma mudah lemas. “Kalau disenggol, langsung jatuh,” ujar wanita kelahiran Semarang, 1 Januari 1975 ini.
Sejak saat itu, sang ayah menyuruh Irma, menggunakan tongkat untuk
berjalan hingga kini. Kondisi kaki itulah yang mendorong Irma melakukan
sesuatu yang berarti bagi dirinya dan orang lain. Setelah lulus dari
SMAN 1 di Semarang, Irma mencoba membuat keset dari kain perca, benda
sederhana untuk membersihkan telapak kaki.
“Aku mencoba membuat keset dari kain sisa industri garmen,”
ujar Irma. Kebetulan, di dekat rumahnya di Semarang terdapat banyak sisa
kain industri garmen. Kain sisa itu ia jahit menjadi aneka bentuk
keset.
Awalnya, keset itu dibuat hanya untuk kebutuhan sendiri. Lambat laun,
karyanya mulai dilirik tetangga. Pasar kecil pun mulai terbentuk.
Keputusan menjadi perajin keset makin bulat ketika ia menikah dengan
Agus Priyanto, penyandang cacat yang jago melukis. Mereka sepakat
membuka usaha kecil pembuatan keset pada 1999. Kala itu, Irma dan Agus
dibantu 5 karyawan.
Ketika usaha mereka mulai berkembang, Irma merasa tak leluasa lagi
menjalankan usaha di rumah orang tuanya. Pada 2002, pasangan muda ini
memutuskan pindah ke Kebumen, kampung halaman Agus. Mereka membeli rumah
di Jalan Karang Bolong kilometer 7, Desa Karangsari, Kecamatan Buayan,
Kebumen. Dari rumah itulah Irma mengendalikan usahanya.
Irma tak mau membuat usaha ecek-ecek. Ia membentuk usaha
berbadan hukum yang diberi nama Usaha Dagang Mutiara Equipment.
Perempuan itu juga membentuk Pusat Usaha Kecil Menengah Penyandang
Cacat. “Awalnya susah sekali mengorganisasi orang,” kata Irma.
Namun Irma adalah sosok yang tidak mau mengalah pada keadaan. Ia
mendatangi penduduk dari rumah ke rumah untuk mendorong ibu rumah tangga
menjadi produktif dengan mengajari mereka membuat keset. “Perempuan sekarang harus berdaya secara ekonomi,” katanya.
Menuai Hasil
Irma juga pernah menanggung sinisme dan cibiran oleh orang-orang yang
melihat usaha itu dengan sebelah mata, apalagi ketika mereka melihat
kaki Irma yang cacat, tapi Irma tak patah semangat. Hasilnya pun mulai
tampak. Ia berhasil mengajak beberapa ibu rumah tangga belajar membuat
keset. Ketika sudah terampil, mereka mendapat pasokan bahan baku dan
mesin jahit dari Irma.
Saat masyarakat mulai menyadari tentang manfaat keterampilan yang
diberikan Irma, minat menjadi pembuat keset pun tak terbendung. Irma
membuat koperasi simpan pinjam pada 2003 untuk menampung kegiatan
ekonomi 1.600 pembuat keset hasil binaannya.
Anggota koperasi keset ini tersebar di 11 kecamatan di Kebumen. Irma
juga menggunakan jaringan pembinaan kesejahteraan keluarga (PKK).
Akhirnya, usaha keset ini merambah ke Banyumas dan Solo. Bahkan Irma
menggandeng kelompok waria dan pekerja seks komersial di Purwokerto.
Hasilnya, 20 waria dan pekerja seks komersial bisa membuka gerai di
perumahan Limas Agung, Purwokerto.
Tiap bulan, perajin mendapat kiriman kain sisa sebagai bahan baku.
Irma mendatangkan 10 ton kain sisa dari Semarang setiap bulan. Omzet
bulanannya bisa mencapai Rp 40-50 juta.
Untuk strategi pemasaran, Irma mengandalkan 15 penjual. Selain itu,
ia juga menitipkan barang produksinya di beberapa gerai yang tersebar di
banyak kota. Salah satunya adalah di showroom milik Kementerian Pemuda dan Olahraga di Jakarta. Kebetulan, Irma sering bertemu dengan Pak Menteri, Adyaksa Dault.
“Saya juga diajak oleh Menpora waktu itu, Pak Adhyaksa Dault ke
Melbourne, Australia mewakili Indonesia dalam pameran kerajinan. Padahal
pameran itu sebetulnya untuk umum, bukan penyandang cacat. Benar-benar
membanggakan karena kami penyandang cacat setara dengan orang normal,” ungkapnya.
Ekspor Produk
Selain memasarkan produk di dalam negeri, Irma juga memasarkannya ke luar negeri, yakni Austarlia, Jerman, Jepang, dan Turki. “Selama ini masih memakai jasa orang lain. Ke depan nanti, saya ingin mengekspornya sendiri agar lebih untung,” tutur Irma.
Irma mengadakan pertemuan tiap tiga bulan sekali untuk menjaga
kualitas produknya. Forum itu diikuti koordinator tiap kecamatan. Selain
membicarakan kualitas produk, ia juga memperkenalkan inovasi baru
kerajinan tangan.
Saat ini, Irma memproduksi 42 macam keset. Ada yang berbentuk elips,
binatang, atau bunga. Di pasaran, keset-keset itu dijual Rp 15 ribu
untuk konsumen dalam negeri, dan Rp 35 ribu untuk konsumen luar negeri.
Sukses membuat keset tak lantas membuat ibu lima nak ini
ongkang-ongkang kaki. Ia dan kawan-kawannya terus mengembangkan
kerajinan lain, misalnya membuat kotak tisu dari lidi. “Ada orang Turki yang memesannya,” ujar Irma.
Kini Irma membuat desain sajadah dari tikar pandan. Kebetulan, di
Kebumen banyak perajin pandan yang belum mampu membuat kerajinan dengan
bahan baku anyaman pandan. “Padahal kalau dibentuk menjadi kerajinan, nilai jualnya akan meningkat,” ujar Irma.
Ironisnya, pengikut Irma justru kebanyakan datang dari luar desanya.
Bahkan banyak penduduk tidak mengenal sosok Irma, meskipun mereka
tinggal di desa yang sama. “Oh, orang yang cacat itu ya?” kata salah satu tetangga Irma ketika ditanya Tempo.
Sebagai penyandang cacat, Irma bukanlah orang yang cengeng. “Cacat bukan halangan untuk berkarya,”
kata dia. Irma mengaku sering sedih melihat para penyandang cacat yang
masih terdiskriminasi, terutama yang ingin menjadi pegawai negeri sipil.
Karena itulah Irma memutuskan membuka lapangan kerja sendiri. “Rencananya saya akan membangun pabrik di belakang rumah, khusus untuk orang cacat,” ujar Irma.
Rencana ke Depan
Irma kini membangun rumah bagian belakang dengan ukuran sekitar 7 m x
9 m. Meski tergolong kecil, tetapi rumah yang hampir selesai tersebut
akan dipakai untuk menampung para penyandang cacat. Mereka bakal bekerja
dan diberikan tempat menginap.
“Kami memang menyiapkan tempat bagi penyandang cacat yang
rumahnya jauh. Jika mau menginap, silakan saja, tetapi tempatnya juga
sederhana seperti ini. Di sini bisa dijadikan pusat usaha penyandang
cacat. Niat saya memang bagaimana para penyandang cacat bisa lebih
kreatif dan mereka mampu mandiri. Itu secara langsung akan mengangkat
martabat penyandang cacat dan mengubah pandangan masyarakat kalau
penyandang cacat hanya bisa mengiba dengan menjadi seorang
peminta-minta,” tandasnya.
Sumber: KickAndy.com, KoranTempo (gerakpemuda.wordpress.com), slamet-nusakambangan.blogspot.com